Kamis, 17 Maret 2011

TERBENTUKNYA KABUPATEN BUTON UTARA

A. GAGASAN AWAL
Setelah bergabung selama sekitar 40 tahun, bertepatan dengan masa reformasi, demokrasi, dan otonomi daerah, masyarakat kawasan Buton Utara merasa perlu meninjau kembali keintegrasiannya ke dalam wilayah Kabupaten Muna. Mereka ingin membentuk satu kabupaten tersendiri lepas dari Muna.
Ide dan perjuangan pemekaran Kabupaten Buton Utara muncul sejak tahun 1998, bahkan wacana pembentukan Kabupaten Buton Utara sudah mulai tampak sejak tahun 1980-an di Makasar di kalangan mahasiswa asal Buton Utara, namun secara sistematis setelah terbentuknya tim “14” pada tanggal 20 November 1999. Perjuangan tersebut sempat terhenti selama kurang lebih tiga tahun, dan mencuat lagi pada tanggal 11 Maret 2003, sekaligus melahirkan kesepakatan Masyarakat Adat Buton Utara dengan tujuan mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Muna, Gubernur Sulawesi Tenggara, Menteri Dalam Negeri, Ketua DPR RI, dan Komisi II DPR RI untuk merealisasikan Kabupaten Buton Utara. Proses perjuangan pemekaran itu sendiri berjalan lamban namun tidak disertai dengan tindak kekerasan.
Munculnya ide pemekaran (dalam makna pemecahan) daerah dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (1) faktor-faktor penyebabnya, yang mencakup (a) faktor pendorong pemekaran yang berada di lingkungan internal daerah yang ingin mekar, dan (b) faktor penarik yang berasal dari lingkungan eksternal; dan (2) faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran. Beberapa faktor penyebab terjadinya pemekaran di antaranya adalah (a) faktor-faktor pendorong seperti (1) faktor kesejarahan, (2) faktor tidak meratanya pembangunan, (3) rentang kendali pelayanan publik yang jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi politik dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang memfasiltasi munculnya pemekaran diantaranya adalah: (1) Proses persiapan untuk mekar; (2) Social Agency; dan (3) Kondisi perpolitikan nasional. Perlu dikemukakan bahwa mengacu pada Kabupaten “Induk” Buton secara kronologis formal telah mengalami pemekaran, yang pertama pada 21 Juni 2001 dengan keluarnya UU Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan Bau-Bau sebagai Kota Otonom. Kemudian pada tahun 2003, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003, Kabupaten Buton mengalami pemekaran yang kedua dengan terbentuknya DOB (Daerah Otonomi Baru) Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Dengan demikian maka Kabupaten “Induk” Buton telah mengalami pemekaran menjadi DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Otonom Bau-Bau, hal ini pula yang mendorong Kabupaten Buton Utara untuk mekar dari Kabupaten Muna.

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
Sebuah territorial reform sebagaimana diamanatkan dalam UU 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000 sebenarnya mengusung pesan bagaimana teritori ditata dalam kebijakan penggabungan, penghapusan, dan pemekaran. Pilihan pada salah satu dari tiga kebijakan tersebut secara administrasi publik merupakan sebuah evaluasi, apakah kemudian sebuah atau beberapa daerah sekaligus akan mengalami penggabungan, penghapusan, ataupun pemekaran. Bagi kebanyakan negara maju, kebijakan territorial reform biasanya berbentuk penggabungan yang merupakan sebuah pilihan yang harus ditempuh karena pertimbangan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik. Sedangkan bagi sejumlah negara yang berkembang (termasuk Indonesia), beberapa kebijakan territorial reform memang lebih berbentuk sebagai pemecahan. Persoalannya adalah mengapa semua bentuk territorial reform di Indonesia mengambil bentuk pemecahan (yang untuk selanjutnya disebut sebagai pemekaran daerah), apa saja yang menjadi penyebab terjadinya pemekaran, dan apakah pemekaran merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah yang bersangkutan? Semua pertanyaan itulah yang akan diungkapkan dalam uraian berikut. Beberapa faktor penyebab yang berupa pendorong munculnya pemekaran saling berkaitan satu dengan yang lain. Sementara faktor penyebab berupa penarik yang berperan dalam pemekaran adalah kucuran dana (fiskal) dari pusat.

1. Faktor-Faktor Pendorong
(1) Faktor Kesejarahan
Aspek yang berkaitan dengan sejarah Buton Utara nampaknya menjadi pendorong munculnya ide untuk mekar, walaupun dengan intensitas yang tidak sama. Keberadaan Kerajaan (Barata) Kulisusu pada masa-masa sebelum kemerdekaan menjadi faktor yang menentukan. Di Kabupaten Buton Utara, aspek kesejarahan terkait dengan masih bertahannya ingatan/kesadaran kolektif komunitas di wilayah tersebut. Modal sosial dalam bentuk ingatan kolektif atau kesadaran kolektif tentang sejarah kejayaan masa lalu Kerajaan Kulisusu yang terekam dalam benak komunitas masyarakat di Buton Utara sebagai wilayah yang akan dimekarkan, menginspirasi bahwa dengan ingatan kolektif ini kejayaan masa lalu dapat diraih kembali dengan memanfaatkan momentum pemekaran daerah untuk kemudian membentuk sebuah wilayah teritori Kabupaten Buton Utara. Kejayaan masa lalu yang dimaksud adalah Kerajaan Kulisusu dengan berbagai bukti jejak peninggalannya hingga kini masih tersisa baik yang berupa tempat dan bangunan Kraton Lipu, tidak kurang dari 17 buah benteng maupun kultur yang pernah berkembang pada masa kerajaan, yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Buton Utara.
Buton Utara pernah menjadi kawasan transito berbasis pelabuhan/kelautan, pusat pemerintahan yang otonom (sebelum dan sesudah menjadi bagian dari Kesultanan Buton dengan status barata, yang sama dengan Muna, Kaledupa, dan Tiworo) tidak tersubordinasi oleh siapapun. Bagi Komunitas Buton Utara ingatan kolektif ini dapat berfungsi sebagai perekat sosial sehingga kohesivitas sosial menjadi pendorong pemekaran wilayah sebagai kota otonom yang sekaligus juga mengukuhkan identitas Buton Utara.

(2) Ketimpangan Pembangunan
Faktor tidak meratanya pembangunan sangat dirasakan oleh wilayah-wilayah yang bukan merupakan pusat kegiatan atau pusat pemerintahan (ibu kota). Ketidakmerataan pembangunan bisa terjadi karena pihak elite birokrasi pemerintahan, legislatif, dan pelaku pembangunan yang kebanyakan tinggal di pusat pemerintahan, sering tidak memprioritaskan daerah “pinggiran” untuk memperoleh jatah pembangunan yang adil. Pengalaman kurang menyenangkan dengan daerah induk ini amat terasa di Buton Utara. Gambaran adanya pengalaman kurang menyenangkan dalam hubungan dengan wilayah induk di Muna dapat dilihat dari tertinggalnya pembangunan fisik (prasarana dan sarana pelayanan publik) di beberapa kecamatan Daerah Otonomi Baru Kabupaten Buton Utara.
Kondisi kawasan Buton Utara sebelum mekar merupakan cermin dari situasi yang kurang menyenangkan dengan alasan yang kompleks. Bagi Buton Utara alasan utama adalah karena pertimbangan tidak adanya otoritas dalam mengatur Buton Utara dengan kompleksitas masalah perkotaan yang muncul, selain itu memiliki argumentasi bahwa selama belum mekar, tidak dimungkinkan adanya pelayanan publik yang maksimal, dibandingkan apa yang bisa diberikan oleh kabupaten induk. Diskriminasi pelayanan publik, rentang kendali yang terlalu panjang, dibandingkan dengan kawasan yang dekat pusat pemerintahan, terasa sebagai praktik ketidakmerataan pembangunan. Praktik ketidakadilan ini sekaligus juga merupakan perwujudan praktik marginalisasi oleh wilayah induk Kabupaten Muna. Dengan demikian pemekaran merupakan satu-satunya jalan yang paling tepat, cepat, dan efektif untuk memperoleh akses ekonomi dan politik untuk membangun wilayahnya.

(3) Luasnya Rentang Kendali Pelayanan Publik
Usaha untuk mendekatkan pelayanan publik ke rakyat sebenarnya bisa dilakukan dengan memperbanyak (menyebarkan ke daerah lain) pusat-pusat pelayanan publik (seperti kantor kecamatan, puskesmas, polsek, sekolah, dll), membangun prasarana jalan, dan memberi kewenangan untuk melayani publik ke arah kecamatan. Namun selama belum ada pemekaran, semua pembangunan lebih banyak terpusat di ibu kota kabupaten. Oleh sebab itu pemekaran merupakan jalan tercepat (langsung) dan efektif untuk mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat. Untuk Kabupaten Buton Utara mempunyai wilayah yang cukup luas dengan garis perbatasan yang sangat panjang (wilayah kepulauan) maka pelayanan terhadap kepentingan publik menjadi suatu prioritas yang harus diusahakan oleh kabupaten induk. Sebagai gambaran, rakyat di wilayah Buton Utara untuk mencapai Ibu Kota Kabupaten Muna harus menempuh perjalanan sekitar 200 km yang harus ditempuh selama 6-8 jam melalui laut dan darat dengan berbagai tingkat kesulitannya sedang ongkos kendaraan bisa mencapai Rp 150.000. Kondisi ini mendorong munculnya Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Buton Utara, karena hanya dengan memekarkan diri maka pelayanan publik menjadi lebih dekat, murah, dan efisien.
(4) Kurang Terakomodasinya Representasi Politik
Representasi politik dari suatu wilayah tertentu menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Bagi masyarakat Butur yang mayoritas penduduknya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan mayoritas penduduk di wilayah kabupaten induk, selalu merasa bahwa aspirasi mereka tidak terwadahi, justru merasa lebih terwadahi di Kabupaten Buton. Faktor inilah juga antara lain yang menjadi alasan, selain faktor kultur historis, memakai kata “Buton” Utara, bukan Muna Timur. Tidak terakomodasikannya kepentingan dan representasi politik mereka mengakibatkan mereka berusaha untuk memekarkan diri demi untuk menunjukkan eksistensi dan politik identitas mereka. Mekarnya Kabupaten Buton Utara dari Kabupaten Induk Muna menunjukkan adanya usaha dari mayoritas rakyat di Buton Utara untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda. Semua kondisi tersebut menyebabkan perjuangan untuk memekarkan diri merupakan satu-satunya jalan yang paling cepat untuk mengatasi permasalahan ini.
Kabupaten Muna melakukan hegemoni atas Buton Utara. Namun, pada saat yang sama, meskipun baru berhasil pada tahun 2007, komunitas Butur telah pula berhasil melakukan counter-hegemony atas pemerintahan kabupaten induk. Kesadaran kolektif ini juga menjadi kian mengerucut karena representasi politik (anggaran) melalui legislatif dari Butur tak juga mampu mewujudkan keadilan akses “kue” pembangunan. Butur, yang telah memberi kontribusi hampir 50 persen terhadap pendapatan Kabupaten Muna, ternyata alokasi pembangunan infrastruktur wilayah Butur dirasakan tidak adil. Dengan posisi representasi seperti itu maka langkah pemisahan diri menjadi jalan keluar terbaik bagi Butur untuk membangun governance sendiri yang lebih adil.


2. Faktor Penarik
Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus), merupakan sebuah simbol bahwa dana pembangunan (dari pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya dana pembangunan (atau dalam bahasa lain disebut dengan common pools resources-CPR) bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya, bahkan tidak pernah ada pada masa periode pemerintahan Bupati Muna menjelang terbentuknya Kabupaten Buton Utara. Kondisi semacam ini semakin memicu dan mengakibatkan Buton Utara semakin gencar berjuang sebagai wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut. Pembangunan daerah biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti: Rumah Sakit/Puskesmas, Sekolahan (SD, SLTP,SLTA bahkan PT), Polsek, dan lain-lain. Selain itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Buton Utara dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru. Gambaran di DOB Kabupaten Buton Utara juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Satu-satunya yang dapat memberikan common pools resources seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan untuk bisa diakses biaya pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton Utara meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga besar.



C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMFASILITASI
Dalam bagian ini akan disajikan sejumlah faktor pendukung yang memungkinkan para aktor yang terlibat dalam proses pemekaran menggulirkan usaha pemekaran. Cakupan dari faktor yang akan disebutkan berikut bisa jadi merupakan bentuk-bentuk ketersediaan kerangka regulasi nasional, proses dan saluran-saluran prosedur yang harus ditempuh, dan kemungkinan pengalaman yang sudah dirintis sebelumnya. Sejumlah faktor pendukung mengapa pilihan pemekaran menjadi keputusan akan mekar, disajikan dibawah ini.

1. Persiapan Pemekaran
Persiapan untuk memekarkan Kawasan Buton Utara sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang lama dan berjalan damai. Kawasan ini kemudian membentuk Kabupaten Buton Utara, berdasarkan UU No. 14 Tahun 2007, tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Buton Utara. Berdasarkan UU tersebut, Ibukota kabupaten ditetapkan di Buranga. Dihitung dari waktu sekarang (2010), Kabupaten Buton Utara sudah memasuki tahun ketiga dalam proses penganggaran. Anggaran tahun pertama (2007) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2008) sebesar Rp 280 milyar, dan tahun ketiga (2009) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Buton Utara memperoleh dana pembinaan dari Propinsi/Kabupaten Muna sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Muna, wilayah Buton Utara mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta.

2. Agen Sosial (Social Agency)
Dengan melihat perkembangan ekonomi, sosial, politik dan geografi kawasan Buton Utara, nampak ada sejumlah permasalahan mendasar yang menjadi sebab-sebab pemekaran. Namun demikian semua faktor tersebut tidak akan mencapai hasil seperti sekarang kalau tidak ada campur tangan para agen sosial (social agency). Agen sosial berupa individu-individu yang berpengaruh dalam masyarakat dan kelompok-kelompok sosial baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional yang memanfaatkan kondisi yang ada untuk memekarkan daerah.
Semua permasalahan tersebut merupakan kombinasi faktor yang sangat kuat yang oleh agen sosial lokal, regional, dan nasional dijadikan dasar bagi ide dan perjuangan pemekaran daerah. Di dalam hal ini dapat terjadi bahwa di satu pihak para agen sosial daerah (atau pusat yang berasal dan berakar di daerah) memiliki peluang untuk memperoleh akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik bagi kepentingan pribadi (rentseekers), namun di lain pihak bisa juga memang betul-betul didesak oleh rakyat secara struktural di daerahnya untuk memperjuangkan pemekaran agar semua permasalahan tersebut dapat diatasi.
Munculnya tokoh-tokoh yang hadir sebagai pejuang pemekaran yang dengan alasan apapun mampu mendorong penyiapan proses menjadi sebuah kenyataan. Para agen sosial ini ternyata memegang peranan penting dalam membaca dan sekaligus menyikapi perkembangan tata pemerintahan. Mereka juga mengikuti perjalanan sejarah kawasan Buton Utara yang sebelumnya merupakan bentuk kerajaan kemudian terjadi pembekuan monarki yang diikuti dengan pembentukan kabupaten baru. Para agen sosial ini juga belajar bagaimana menyikapi hadirnya regulasi dalam bentuk UU No. 5 tahun 1974 dan kemudian UU No. 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000. Dinamika agen ini bukan saja sebatas bergerak pada teritori di mana ia berdomisili, tetapi juga membangun jejaring pada tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, jadi sifatnya struktural meliputi semua wilayah dan lapisan masyarakat kecuali tiga kecamatan yang tetap bertahan bergabung dengan Muna, yaitu Wakorumba Selatan, Maligano, dan Pasir Putih. Jika dapat dikategorikan, maka para agen sosial ini dapat dipilah dalam tiga kelompok, yakni, birokrasi, legislatif, tokoh masyarakat (civil society), dan gabungan dari ketiganya. Dalam praktik membangun interaksi politik, bisa terjadi elemen-elemen tokoh tersebut menjadi berbaur. Meski demikian, wilayah pemekaran Buton Utara dapat ditandai dengan aktifnya tokoh yang berasal dari elemen birokrasi dan politisi, serta peran tokoh civil society. Para tokoh ini jika dicermati ternyata tidak hanya aktif dalam satu penggal momentum pemekaran saja, melainkan juga proaktif menyikapi perkembangan perpolitikan pascapemekaran.

3. Kondisi Perpolitikan Nasional
Kondisi perpolitikan nasional yang membuka ruang politik dan ruang untuk memekarkan diri, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, menjadi akselerator pemekaran daerah. Sejumlah alasan pemekaran yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya menjadi tidak cukup signifikan jika tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang desentralisasi yang di antaranya mengatur tentang penataan daerah. Dengan keluarnya regulasi seperti itu, maka bagi sejumlah aktor politik/birokrasi/tokoh lokal, regulasi semacam ini tidak hanya menjadi akselerator pemekaran namun juga menjadi ruang satu-satunya untuk merealisasikan ketidakpuasan atas sulitnya rentang kendali, disparitas akses dana pembangunan, pertimbangan akan dikucurkannya limpahan fiskal, yang sekaligus berimpit dengan kesadaran kolektif akan kejayaan masa lalu, menjadi dorongan kuat untuk mekar. Diluncurkannya regulasi UU No 22 tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000 tidak diikuti dengan penegakan syarat regulatif yang kualitatif. Syarat pemekaran hanya didominasi indikator kuantitatif. Dengan substansi regulasi seperti ini maka ruang untuk melakukan studi kelayakan menjadi relatif longgar. Dalam posisi seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa pihak negara berada pada posisi yang relatif lemah.



D. HASIL PERJUANGAN
Berbagai faktor penyebab yang bersifat mendasar dan faktor-faktor yang memfasilitasi sebagai pendukung menuju pemekaran Kabupaten Buton Utara antara lain telah diuraikan di atas. Berbagai alasan yang bersifat universal antara lain dinyatakan dalam suatu kebulatan tekad masyarakat Wakorumba tanggal 27 Agustus 2005 (lihat lampiran-4), kronologi perjuangan sebagimana tertuang dalam News Butur Pusat Arsip Berita Buton Utara (lihat lampiran-3), berbagai kendala dan hambatan utamanya hambatan struktural (birokrasi) dihadapi dalam proses perjuangan. Setelah mengalami ketertindasan, kemiskinan, keterisolasian, dan keterjajahan selama kurang lebih 40 tahun, dan karena itu pembentukan Kabupaten Buton Utara adalah kebutuhan mutlak dan merupakan jalan akhir bagi masyarakat untuk keluar dari masalah tersebut, sebagaimana bunyi point (2) kebulatan tekad masyarakat Kecamatan Wakorumba, dan berjuang menuju pemekaran selama kurang lebih 10 tahun, maka hasilnya adalah pada tanggal 2 Januari 2007 keluarlah Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara No. 14 Tahun 2007. Tepat enam bulan kemudian, yakni pada tanggal 2 Juli 2007 dilakukan pelantikan pejabat Bupati Buton Utara, Kasim, SH di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara.

Read more!