Kamis, 17 Maret 2011

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Buton Utara - Sultra

Kawasan Buton Utara sebelum terintegrasi ke Buton merupakan satu unit pemerintahan yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh. Hal ini ditandai dengan beberapa pusat pemukiman kuno yang sampai saat ini masih dapat disaksikan, misalnya Doule, Bengkudu, Wamboule, Lemo, dan Lipu. Tradisi lisan menuturkan bahwa cikal bakal awal pemerintahan bermula di Lemo. Saat itu yang menjadi pemimpin adalah dua orang “juru bicara” (pandegau), masing-masing “juru bicara besar“ (pandegau ea) dan “juru bicara kecil” (pandegau ete). Pada saat juru bicara bernama Layba dan istrinya bernama Watobi, lahirlah seorang putri bernama Wa Ode Bilahi. Sejak itu dia telah diberi gelar Raja (Lakino) Lemo atau disebut-sebut oleh Sultan Ternate sebagai raja sejak masih kecil. Pada saat yang sama diangkat seorang yang bernama Kopasarano untuk menjaga keselamatan Wa Ode Bilahi. Setelah besar ia dinobatkan sebagai Raja (Lakino) Lemo (pertama dan terakhir). Ketika menjadi raja, ia dinikahi oleh La Elangi, Sultan Buton IV. Pernikahan ini menjadi cikal bakal berintegrasinya Buton Utara ke dalam wilayah Kesultanan Buton. Pernikahan La Elangi dengan Wa Ode Bilahi melahirkan seorang putra yang bernama La Ode-Ode. Tradisi lisan menuturkan bahwa ketika menganjak dewasa, ia melakukan kunjungan ke Buton ingin bertemu dengan sang ayah, La Elangi. Dalam pertemuan itulah kawasan Buton Utara ditarik menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dengan status barata dan La Ode-Ode dinobatkan sebagai Raja (Lakina) Barata Kulisusu pertama. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17.
Ancaman dari arah “buritan” maupun dari “haluan”, sebagaiman digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi “negara” Buton dengan sebuah perahu (the ship of state). Tradisi lokal menyebutkan bahwa penyusunan birokrasi Kesultanan Buton dilakukan pada masa Sultan La Elangi (1578-1615). Dalam kurun waktu itu, perluasan pengaruh Ternate dan Gowa dilakukan ke luar wilayahnya. Ada hubungan antara perluasan Ternate dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton bagi wilayah-wilayah yang dikendalikannya. The ship of state Buton dalam penerapannya adalah barata, perahu bercadik ganda. Perahu dianggap dapat membawa seluruh penumpang warga negara berlayar menuju cita-cita yang diharapkan. Layaknya sebuah perahu, ia mempunyai keseimbangan sehingga tidak mudah goyang apalagi sampai terbalik. Konsepsi perahu yang dibayangkan Kerajaan Buton adalah perahu bercadik ganda, yang mempunyai dua sayap di kanan dan dua sayap di kiri. Pada setiap pertemuan sayap dan pengapitnya ada ikatannya yang berfungsi sebagai penguat. Keempat penguat itu disebut barata. Dalam bahasa Wolio, barata selain berarti “tenaga” atau “kekuatan” juga berarti ikatan pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. Barata yang dimaksud dengan penopang Kesultanan Buton adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Keempat barata itu berkewajiban melindungi kerajaan dari serangan musuh yang datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga serangan musuh dari arah timur dan selatan. Sementara itu, Tiworo dan Muna menjaga keamanan kerajaan dari arah utara dan barat. Kedudukan keempat barata itu juga merupakan vazal atau daerah taklukan yang memberi keuntungan atau wingewest bagi Buton. Pada umumnya keempat barata itu masuk ke dalam kekuasaan Buton melalui penaklukan kecuali Kulisusu. Wilayah di bagian timur Pulau Buton ini masuk ke dalam kekuasaan Buton dengan jalan damai melalui pendekatan perkawinan. Pengukuhan Barata Kulisusu erat kaitannya dengan serangan-serangan bajak laut Tobelo terutama serangan yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Buton I, Murhum, dan klaim Ternate atas Kulisusu dan Wawonii sebagai wilayah kekuasaannya.
Barata Kulisusu sebagai suatu unit pemerintahan tentu mempunyai pusat kegiatan dan penyelenggaraan pemerintahan yang dinamakan Kraton Kulisusu yang dilindungi oleh sebuah benteng. Benteng Lipu, demikian nama benteng tersebut, sebagai Kraton Kulisusu mulai dibangun sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 oleh Lakina Kulisusu pertama, La Ode-Ode. Dari tempat ini sistem pemerintahan diatur dan dikendalikan. Serangan gencar bajak laut dari utara dan timur yang disebut Tobelo merupakan alasan utama pembangunan benteng. Benteng tersebut didirikan melalui panitia dengan susunan Lakina Kulisusu sebagai penasehat, Kopasarano sebagai keamanan, Kodangku sebagai konsultan, Gaumalanga dan La Moloku (Tasau Ea) masing-masing sebagai anggota. Ide awal dan rancangan untuk membangun benteng muncul dari La Kodangku kemudian disempurnakan oleh Gaumalanga. Selain Benteng Lipu sebagai pusat pemerintahan (kraton), di Barata Kulisusu terdapat tidak kurang dari 16 jaringan benteng, yaitu benteng Wapala, Kadacua, Koro, Lasee, Pangilia, Naince, Tondoka, Mataoleo, Kambamanuru, Kandudia, Tomoahi, Bangkudu, Watoge, Gantara, Kalowo, dan Kalibu. Masing-masing benteng dilengkapi dengan istana, baruga, dan beberapa meriam hasil rampasan perang. Dari keseluruhan benteng tersebut yang menjadi sentral koordinasi pertahanan keamanan adalah Benteng Lipu. Fungsi sentralnya dapat dilihat dari posisinya yang lebih strategis dari benteng-benteng lainnya, memanjang dari utara ke selatan, keliling sekitar 1800 meter, terbagi dalam dua ruang, dan memiliki lima pintu. Benteng Lipu dijadikan sebagai sentral pertahanan dan keamanan merupakan upaya untuk mengembangkan kekuatan di darat yang bertujuan untuk mencapai persatuan dan kesatuan dalam membangun kekuatan yang kokoh sebagai daerah jantung. Pemusatan kekuatan pertahanan pada Benteng Lipu sebagai refleksi dari pemikiran geopolitik dan geostrategik adalah alternatif yang dianggap paling tepat dalam rangka membangun kekuatan banding karena perang melawan Tobelo merupakan perang total. Perang total adalah perang yang tidak hanya melibatkan angkatan bersenjata di bawah pimpinan Kapitano Suludadu tetapi melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian maka sejak awal abad ke-17 masyarakat Buton Utara sesungguhnya telah mengenal konsep pertahanan keamanan rakyat semesta.
Sebelum masuknya Agama Islam, masyarakat Lipu mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Wujud kedua kepercayaan ini adalah adanya raha bulelenga sebagai pusat keyakinan dan kepercayaan. Bentuk ibadah atau ritual dari kepercyaan tersebut ialah apa yang dikenal dengan nama pesomba (menyembah, persembahan). Kegiatan ritual yang berkaitan dengan keyakinan ini dilakukan dua kali setahun, yakni pada setiap peralihan musim. Ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan mereka pada alam cukup besar dengan keyakinan bahwa di alam ini ada kekuatan yang mengatur yang selalu harus disembah pada setiap saat pergantian musim jika tidak maka akibatnya akan dirasakan masyarakat (pedeaho lipu) dalam bentuk wabah penyakit, gagal panen, kerugian, musibah dan sebagainya.

Pada tahun 1538 Syech Abdul Wahid dari tanah Arab tiba di Buton membawa Agama Islam dan diterima oleh Raja Buton ke-6, Murhum, kemudian Murhum dinobatkan oleh Syekh Abdul Wahid menjadi Sultan Buton I, kemudian La Ode Rustam menerima Agama Islam dari Sultan Murhum untuk dikembangkan di Kulisusu, diterima oleh Lakina Lemo I, Wa Ode Bilahi, dan Kopasarano. Namun demikian islam menjadi agama negara yang wajib dianut oleh seluruh rakyat dan menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan, terjadi ketika Kulisusu menjadi vazal Buton pada masa pemerintahan La Elangi sebagai Sultan Buton IV dan La Ode-Ode sebagai Lakina Kulisusu I pada sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Sejak saat itu mulailah berdatangan para mubaligh Arab antara lain dua tokoh yakni Syech Saidi Rabba (Syarif Muhamad Al Idrus) yang mengajarkan syariat dan tarekat Islam melalui jalur rabba (biola). Tokoh berikutnya adalah Syech Saidi Alwi, seorang tokoh tarekat. Oleh masyarakat Kulisusu kedua tokoh ini diberi gelar sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing, Saidi Rabba diberi gelar Ima Ea (imam besar) yang mempunyai dua tugas utama yakni sebagai imam pada setiap pelaksanaan shalat dan sebagai petugas tetap dalam melaksanakan sunatan (parerea). Sebagai pusat kegiatan Islam sebelum mesjid Lipu dibangun adalah di tempat kediaman Lakina Kulisusu yang disebut kamali. Dalam rangka pengembangan Islam utamanya dalam pembinaan kader mubaligh yang akan menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan, maka muncullah gagasan syara untuk membangun mesjid. Saidi Alwi yang oleh masyarakat Kulisusu diberi gelar Moji Mohalo diberi tugas untuk membangun mesjid Kraton. Tugas ini dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga dengan prestasi tersebut maka dibuatlah suatu kesepakatan syara bahwa secara turun temurun generasi Moji Mohalo harus menempati posisi utama dalam struktur syarana agama. Untuk mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan agama dan adat dalam kehidupan masyarakat disusunlah personalia pengurus mesjid Lipu atau pegawai syarana agama atau syarana hukumu. Dengan terbentuknya susunan pegawai mesjid Lipu sebagai mesjid pertama di Kulisusu, maka berbagai masalah yang muncul baik masalah agama maupun masalah adat dapat diselesaikan di mesjid.
Masuk dan berkembangnya Agama Islam di Kulisusu pertama melalui jalur perkawinan, suatu saluran Islamisasi yang dilakukan oleh pembawa Islam baik yang berkebangsaan Arab maupun orang pribumi sendiri. Ima Ea dan Moji Mohalo hingga kini mempunyai keturunan di Kulisusu hasil perkawinan mereka dengan penduduk asli. Yang sangat besar pengaruhnya adalah perkawinan Sultan La Elangi dengan Wa Ode Bilahi melahirkan seorang putra yang bernama La Ode-Ode yang menjadi Lakina Kulisusu I. Kedua, adalah jalur adat kebiasaan. Sebelum masuknya Islam semua doa-doa diucapkan dalam bentuk mantra, akan tetapi setelah masuknya islam maka posisi mantra diganti dengan bacaan al-qur’an. Penggunaan media adat sebagai usaha untuk menyebarkan Islam didukung oleh pemerintah kerajaan, syarano agama serta para mubaligh. Ketiga, adalah jalur mubaligh. Peranan mereka tidak terbatas sebagai guru yang mengajarkan syariat dan membentuk kader tetapi juga memberikan contoh pelaksanaan syariat dan akhlak. Dengan fungsi ini para mubaligh menempati posisi yang sangat terhormat dalam masyarakat, lebih-lebih karena kemampuan mereka hidup di tengah-tengah masyarakat dengan contoh-contoh perilaku yang ramah, sopan santun serta menyatu dengan kehidupan masyarakat. Integrasi mereka dalam kehidupan yang diterima baik tersebut dimanfaatkan untuk memasukan nilai–nilai Islam baik tauhid, syariat maupun akhlak yang menjadi esensi islam secara universal. Ketiga unsur ini merupakan kekuatan dahsyat yang mendobrak alam kepercayaan masyarakat yang animisme dan dinamisme.
Sebagai satu bentuk komunitas kecil pada awal terorganisasinya kehidupan, maka sistem yang ada merupakan suatu perangkat adat yang disebut ntobu tanpa pelampiasan sosial dan struktur yang formalistik. Di dalam suatu kelompok masyarakat yang masih kecil seperti ini, mekanisme yang mengatur anggota keluarga atau warga tidak banyak mengalami kesulitan karena hubungan tersebut masih dapat dilakukan secara individual. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya setelah menjadi suatu komunitas besar muncullah kebutuhan akan adanya mekanisme yang dapat mengatur hubungan antara individu atau kelompok sebagai alat penghubung yang teratur dan dipercaya yang dalam istilah sekarang disebut dengan birokrasi. Dengan terbentuknya organisasi pemerintah (syara) maka komunitas kecil ini menjadi satu wilayah kecil yang disebut kadie (desa) yang dikepalai oleh seorang bonto. Sejak terbentuknya organisasi kemasyarakatan maka mulailah terjadi stratifikasi sosial untuk memperkuat struktur organisasi yang baru dibangun dengan memperhatikan aspek kebersamaan dimana setiap lapisan harus terwakili dalam struktur.
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kerajaan-kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa telah mengadakan persekutuan dalam hal pertahanan dan keamanan bersama. Semula persekutuan ini dibentuk atas dasar persetujuan dan kepentingan bersama tanpa ada aturan yang sifatnya mengikat. Akan tetapi pada masa kekuasaan Sultan Dayanu Ikhsanuddin kerajaan-kerajaan tersebut dikukuhkan sebagai bagian dari Kesultanan Buton dengan status dan nama Barata Patapalena. Untuk mengatur dan mengendalikan sistem pemerintahan maka pertama-tama Lakina Barata harus berkedudukan di dalam benteng (Kraton Barata), di dalam sebuah istana yang dinamakan kamali sedangkan tempat musyawarah dinamakan baruga. Di kedua tempat inilah ditetapkan berbagai kebijakan pemerintahan barata berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yaitu Syarana Barata (Undang-Undang Barata). Untuk melaksanakan setiap keputusan syara (pemerintah), maka struktur pemerintahan disusun sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan pertimbangan aspirasi yang berkembang dari setiap wilayah pemerintahan yang lebih kecil. Undang-undang Barata dibuat dan ditetapkan oleh Syara Buton (pemerintah Kesultanan Buton) dengan selalu mempertim-bangkan kondisi setiap barata itu sendiri. Pada tiap-tiap barata dibentuk pula jabatan-jabatan yang nama dan gelarnya seperti yang ada pada Syara Buton, akan tetapi tidak lengkap seperti yang ada pada pemerintahan pusat kecuali keempat barata itu disatukan semua baru bisa sama dengan struktur pemerintahan pusat Kesultanan Buton. Selama masa Barata Kulisusu diperintah oleh 18 orang raja (lakina) dalam 21 periode dalam rentang waktu sekitar 350 tahun (1600-1955). Ada tiga raja yang memerintah dua periode yang berbeda masing-masing La Ode Gola gelar Waopu Iloji (1875-1890) dan (1905-1913), La Ode Tibi (1939-1940) dan (1942), dan La Ode Ganiru (1942-1949) dan (1950-1955).
Adapun struktur lengkap pemerintah Barata Kulisusu adalah sebagai berikut : Lakino Kulisusu, didampingi oleh Kinipulu, jabatan untuk kaum bangsawan; Kapitano Lipu, jabatan untuk kaum bangsawan; Kapitano Suludadu, jabatan untuk kaum bangsawan; Bonto Ea (Bontono Kampani, Bontono Kancua-ncua), jabatan untuk kaum walaka. Bonto Siolimbona, jabatan kaum walaka,terdiri dari Bontono Langkaudu; Bontono Mowuru; Bontono Rotawu; Bontono Kalibu; Bontono Sakau; dan Bontono Kodaawu. Bobato, jabatan kaum bangsawan, terdiri dari Lakino Lemo; Lakino Bone; Lakino Kalibu; Lakino Mataoleo; Lakino Kotawo; Lakino Tomoahi; Lakino Sampu; Lakino Wela-Welalo. Sabandara, satu orang, jabatan untuk kaum bangsawan. Juru basa, enam orang, jabatan untuk kaum walaka. Talombo, dua orang, jabatan untuk kaum walaka, terdiri dari : (1) Talombono Kompania dan (2) Talombono Kancua-ncua. Pandegau, 11 orang, jabatan untuk kaum walaka yang meliputi Pandegauno Kampani; Pandegauno Kancua-ncua; Pandegauno Lemo; Pandegauno Bone; Pandegauno Tomoahai; Pandegauno Sampu; Pandegauno Wela-Welalo; Pandegauno Kalibu; Pandegauno Mataoleo; Pandegauno Kotawo; Pandegauno Sakau. Belobaruga, empat orang, jabatan untuk kaum walaka yang terdiri atas Belobarugano Kinipulu; Belobarugano Kapitano Lipu; Belobarugano Kampani; Belobarugano Kancua-ncua. Syaragenti, 28 orang, jabatan untuk kaum walaka yang terdiri dari dua orang Albahidiri, dua orang Alpirisi, dan 24 orang anggota pasukan.
Sejak pertemuan La Ode-Ode dengan ayahnya di Wolio, ia telah diberikan kekuasaan untuk menjadi Lakina Kulisusu I. Dalam pelaksanaan pemerintahannya ia mengacu pada dua buku yang berjudul Mir’atuttama dan Martabat Tujuh. Di dalam Martabat Tujuh antara lain dilukiskan beberapa petunjuk mengenai sifat laku atau sifat hidup dalam kekeluargaan Islam, bermasyarakat, berpemerintahan serta sifat batin dalam bertanah air dilengkapi dengan pengertian amanah Tuhan. Islam dalam bermasyarakat dan berpemerintahan dilandaskan pada ideologi berikut :
1. Tokonukui Kulinto, merupakan azas tenggang rasa, tidak saling menyakiti. Dalam pelaksanaannya hendaknya setiap orang, setiap pejabat senantiasa bersikap dalam suasana peka maamaasiako (saling mengasihi), peka engkaengkaako (saling hormat-menghormati), peka piapiara (saling memelihara), dan peka memetako (saling takut-menakuti).
2. Topamentaso larondo mia, merupakan azas mengasah hati dalam wujud pemberian anugrah berupa jabatan dan fasilitas kerja.
Beberapa persyaratan yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan yang diberikan sebagai anugrah itu adalah; karena ikut membantu melawan musuh, ilmu pengetahuan; kepahaman dan kemahiran tentang seluk beluk sejarah Kulisusu serta seluk beluk tata pemerintahan, karena pengorbanan harta bendanya, karena mengorbankan kepandaian, keahlian, dan kesetiaannya. Kesemuanya dalam rangka keikhlasan pengabdiannya kepada pemerintah tanah air Kulisusu. Mengenai sikap batin dalam bertanah air dilandaskan pada azas (doktrin) berikut, hina hinamo idaa arataa sumano wuto (kepentingan diri di atas kepentingan harta benda), hina hinamo wuto sumana lipu (kepentingan negeri di atas kepentingan diri), hina hinamo lipu sumano syara (kepentingan negeri di atas kepentingan pemerintah), dan hina hinamo syara sumano agama (kepentingan agama di atas kepentingan tanah air). Sedangkan azas yang berbentuk semboyan adalah; ydaa umowoseno kadio sara, artinya tidak ada yang lebih kuasa selain dari pemerintah; ydaa umentaano kadio sara, artinya tidak ada yang lebih tinggi selain pemerintah; ydaa mokorano kadio sara, artinya tidak ada yang lebih kuat selain pemerintah; dan ydaa mosegano kadio sara, artinya tidak ada yang lebih berani selain pemerintah.
Amanat yang “tujuh” yang diturunkan Tuhan kepada manusia adalah : Hidup, laksana permata bagi manusia, wajib senantiasa memperbaikinya, tidak dibawa kehidupan itu dalam kerusakan; Ilmu pengetahuan, wajib atas kita menggunakannya pengetahuan untuk menilik keadaan diri sendiri dan mengetahui kebesaran Tuhannya dan segala sesuatu yang wajib diketahui, dipelihara, dipahami dengan baik agar tidak salah mengerti; Kekuasaan, wajib kita menggunakannya kebaikan dunia akhirat; Kamauan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat; Pendengaran, wajib kita menggunakannya untuk mendengarkan petunjuk, suruhan, perintah Tuhan dan Rasulullah, jangan sekali-kali digunakan untuk mendengarkan yang tidak benar, baik berupa perkataan, ucapan bohong maupun berupa makian nista dan dengki; Penglihatan, wajib kita menggunakannya bagi hayat sendiri, dan janganlah digunakan untuk melihat atau memandang yang tidak benar; dan Rahasia.
Ketika kompeni Belanda masuk di Kulisusu pada sekitar awal abad ke-17, berbagai perlawanan rakyat muncul untuk menentang kehadiran imperialisme Belanda, termasuk juga menghadapi serangan bajak laut Tobelo. Dua orang tokoh pemimpin perlawanan rakyat Kulisusu yang cukup terkenal adalah La Ode Gure dan La Ode Gola. La Ode Gure lahir di Lipu Kulisusu pada sekitar awal abad ke-17. Beliau berasal dari keluarga bangsawan dan masih ada hubungan keturunan dengan La Ode-Ode, Raja (Lakina) Kulisusu I. Sejak memasuki usia remaja, La Ode Gure mempunyai pendirian yang kuat, teguh dalam prinsip, berani dalam mengambil tindakan serta gigih dalam perjuangan. Hal inilah yang ditunjukan oleh La Ode Gure dalam menghadapi serangan bajak laut Tobelo serta dalam menentang VOC di Kulisusu. Pada masa pemerintahan Lakino Kulisusu I, La Ode Gure dikenal sebagai salah seorang panglima perang (Kapita Suludadu) yang sangat berani. Pada akhir masa pemerintahan Lakino Kulisusu I, bersama pasukannya ia berhasil memblokir sebuah kapal Belanda bernama Bark de Noteboom yang melewati perairan dan akhirnya terdampar di Teluk Kulisusu. Dengan peristiwa ini Kumpeni mengajukan protes dan meminta Buton membayar kerugian dengan cara menyerahkan 100 orang budak. Dalam perang antara Kulisusu melawan bajak laut Tobelo yang terjadi pada akhir abad ke-17, La Ode Gure dengan gelar Raja Jin bersama beberapa orang personil pasukannya akhirnya gugur dalam medan pertempuran sebagai suhada. Untuk mengenang arwah Kapita Suludadu La Ode Gure, maka ia dimakamkan berdampingan dengan makam La Ode-Ode, Raja Kulisusu I.
Pemimpin gerakan perlawanan lainnya adalah La Ode Gola. Dua kali ia menjabat sebagai Lakina Kulisusu, yaitu periode pertama memerintah tahun 1875-1890 dan periode kedua tahun 1905-1914. Selain menjabat sebagai raja, juga terkenal sebagai seorang pejuang yang gagah berani. La Ode Gola lahir di Loji Kulisusu pada sekitar pertengahan abad ke-19. Pada masa pemerintahan periode kedua, tepatnya pada tahun 1906, kaum kolonial Belanda mulai mencampuri urusan pemerintahan di Kulisusu. Sikap dan tindakan kaum kolonial yang sewenang-wenang terhadap masyarakat Kulisusu telah menimbulkan keresahan sosial, kebencian bahkan kemarahan rakyat. Dalam kapasitasnya sebagai panglima perang, La Ode Gola bersama pasukannya berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda bernama Rust en Werk di perairan Laut Banda dekat pelabuhan Desa Wa Ode Buri. Peristiwa perompakan kapal Rust en Werk oleh penduduk Kulisusu yang dipimpin La Ode Gure, menjadi alasan bagi VOC menuntut Sultan Buton yang berakhir dengan perang. Lokasi tempat tenggelamnya kapal perang Belanda tersebut ditandai dengan adanya tiang-tiang besi yang sekarang masih kita dapat saksikan situsnya. Kapten kapal perang Belanda itu bernama Van den Berg. Diduga asal usul nama Wa Ode Buri diambil dari nama Van den Burg. Kebencian dan kemarahan La Ode Gola bersama masyarakat Kulisusu terhadap kaum kolonial Belanda semakin memuncak pada tahun 1914. Hal ini disebabkan karena pada saat itu, La Ode Gola bersama pasukannya melancarkan perlawanan secara besar-besaran terhadap Belanda di Kulisusu. Akhirnya pada tahun 1914 La Ode Gola yang diberi gelar Waopu Iloji ditangkap oleh Belanda dan keberadaannya hingga kini belum diketahui.
Pascakemerdekaan, kawasan Buton Utara bergolak akibat gerakan DI-TII. Kawasan ini masuk dalam jaringan wilayah pergerakan DI-TII Kahar Muzakkar karena letaknya yang strategis menuju pintu masuk ke kawasan timur terutama Wakatobi selanjutnya Maluku dan Papua. Pada tanggal 1 Rajab 1376, bertepatan dengan tanggal 1 Februari 1956, diadakan Pertemuan Urgensi Pejuang Islam Revolusioner I (PUPIR I) di Makalua, markas utama Kahar Muzakkar di kaki Gunung Latimojong Sulawesi Selatan, yang menghasilkan Piagam Makalua. Salah satu keputusan adalah mengadakan reformasi dalam tubuh Divisi Hasanuddin. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut maka pada tanggal 21 Februari 1956, Komando Resimen (Korem) II Hasanuddin mengadakan kongres di salah satu markasnya di Rakadua Boepinang untuk melakukan reformasi di lingkungan territorial Korem II. Dalam kongres diputuskan antara lain dibentuk batalyon baru yang disebut Batalyon 24 untuk wilayah Buton dan Kepulauan Tukang Besi dengan komandan Batalyonnya Kapten TII La Saadi dengan nama samaran Haerun Syahada, seorang mantan Imam Distrik Wangi-Wangi. Ia yang kemudian diganti oleh La Mui dengan nama samaran Muaz (Mui-Azis), mantan jurutulis Kepala Distrik Wangi-Wangi. Berserta lebih dari sepuluh anggotanya yang semuanya anggota Masyumi dan berasal dari Wangi-Wangi Kepulauan Tukang Besi hadir dalam kongres menyatakan diri bergabung dengan DI-TII. Batalyon 24 bermarkas di Lamoahi di sekitar muara Sungai Laea dengan markas-markas kompi sebagai beikut; Kompi I bermarkas di Labuan Tobelo, Kompi II di pesisir pantai dan muara sungai di Kalibu Ereke, Kompi III di pesisir pantai Kioko, Kompi IV di pesisir pantai Lasalimu.
Ada dugaan bahwa kehadiran La Saadi dan kawan-kawan dalam kongres atas restu La Ode Abdul Azis, Kepala Distrik Wangi-Wangi, setelah terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat restu Sultan Buton, La Ode Muhammad Falihi. Penggabungan itu adalah bagian dari strategi yang bersifat “sangat rahasia” dan “berpura-pura menjadi anggota DI-TII” agar rakyat Buton terhindar dari gangguan DI-TII. Strategi ini dilkakukan dengan perhitungan bahwa gerilyawan DI-TII tidak akan mungkin dikalahkan dengan cara-cara kekerasan. Oleh sebab itu dalam kongres, rombongan pimpinan La Saadi meminta agar semua jabatan di wilayah territorial Balayon 24 mulai dari Komandan Batalyon sampai Komandan Regu harus direkrut dari orang-orang Buton. Strategi itu dibuktikan ketika semua perahu yang dihadang dan ditangkap oleh gerilyawan di wilayah territorial Batalyon 24 dibebaskan oleh komandan jika ternyata diketahui bahwa mereka orang Buton.
Aktivitas gangguan DI-TII di Buton Utara mulai surut sejak tanggal 29 Juli 1961, ketika itu A. Bakhtiar selaku Komandan Batalyon 21 serta sebagian anak buahnya menyerah dan menyatakan diri di Raha Muna untuk kembali ke masyarakat, dan memerintahkan kepada semua anak buahnya dimana saja berada untuk segera mengikuti jejaknya, mentaati dan melaksanakan himbauan pemerintah untuk kembali ke masyarakat dengan cara melapur ke pos-pos terdekat. Jejak A. Bakhtiar ini kemudian diikuti oleh rekan-rekannya di Buton Utara. Pada tanggal 19 Oktober 1962 Letkol TII Muhammad Jufri Tambora, Komandan Resimen IV Hasanuddin beserta sebagian anak buahnya dinyatakan kembali ke masyarakat diterima oleh pemerintah dan TNI di Kendari dalam suatu acara ramah tamah di gedung DPRD Tingkat II Kendari. Ini menandai berakhirnya gangguan DI-TII di Sulawesi Tenggara termasuk di Buton Utara, kecuali Kahar Muzakkar dan belasan pengikutnya masih bertahan di hulu Sungai Lasolo hingga tewas tertembak mati di tangan pasukan Siliwangi pada tanggal 3 Februari 1965.
Setelah berakhirnya gangguan DI-TII, kawasan Buton Utara berusaha diintegrasikan ke dalam wilayah Kabupaten Muna yang terbentuk berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959. Masuknya Buton Utara (Kecamatan Kulisusu dan Kecamatan Wakorumba) ke dalam wilayah Kabupaten Muna adalah salah satu syarat adminitrasi wilayah yang harus dipenuhi bagi terbentuknya Kabupaten Muna saat itu. Sebagaimana diketahui bahwa menjelang terbentuknya Kabupaten Muna, hanya terdapat lima kecamatan yaitu Katobu, Lawa, Tongkuno, Kabawo, dan Tiworo Kepulauan. Ini berarti belum memenuhi syarat pembentukan suatu kebupaten. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah menarik dua kecamatan yang ada di kawasan Buton Utara. Syarat penting lainnya adalah harus mendapat persetujuan dari Sultan Buton sebagai penguasa adat Kesultanan Buton pada masa peralihan sistem pemerintahan. Pertimbangan lain memasukan kawasan Buton Utara ke dalam wilayah Kabupaten Muna selain syarat cakupan wilayah, juga karena faktor sejarah, budaya, geografi, dan politik.
Setelah bergabung selama sekitar 40 tahun, bertepatan dengan masa reformasi, demokrasi, dan otonomi daerah, masyarakat kawasan Buton Utara merasa perlu meninjau kembali keintegrasiannya ke dalam wilayah Kabupaten Muna, ingin membentuk satu kabupaten tersendiri lepas dari Muna. Munculnya ide pemekaran daerah dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (1) faktor-faktor penyebabnya, yang mencakup (a) faktor pendorong pemekaran yang berada di lingkungan internal daerah yang ingin mekar, dan (b) faktor penarik yang berasal dari lingkungan eksternal; dan (2) faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran. Beberapa faktor penyebab terjadinya pemekaran di antaranya adalah (a) faktor-faktor pendorong seperti (1) faktor kesejarahan, (2) faktor tidak meratanya pembangunan, (3) rentang kendali pelayanan publik yang jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi politik dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang memfasiltasi munculnya pemekaran diantaranya adalah: (1) Proses persiapan untuk mekar; (2) Social Agency; dan (3) Kondisi perpolitikan nasional. Perlu dikemukakan bahwa mengacu pada Kabupaten “Induk” Buton secara kronologis formal telah mengalami pemekaran, yang pertama pada 21 Juni 2001 dengan keluarnya UU Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan Bau-Bau sebagai Kota Otonom. Kemudian pada tahun 2003, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003, Kabupaten Buton mengalami pemekaran yang kedua dengan terbentuknya DOB (Daerah Otonomi Baru) Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Dengan demikian maka Kabupaten “Induk” Buton telah mengalami pemekaran menjadi DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Otonom Bau-Bau, hal ini pula yang mendorong Kabupaten Buton Utara untuk mekar dari Kabupaten Muna. Setelah mengalami ketertindasan, kemiskinan, keterisolasian, dan keterjajahan selama kurang lebih 40 tahun, dan karena itu pembentukan Kabupaten Buton Utara adalah kebutuhan mutlak dan merupakan jalan akhir bagi masyarakat untuk keluar dari masalah tersebut, sebagaimana bunyi point (2) kebulatan tekad masyarakat Kecamatan Wakorumba, dan berjuang menuju pemekaran selama kurang lebih 10 tahun, maka hasilnya adalah pada tanggal 2 Januari 2007 keluarlah Undang-Undang No. 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara. Tepat enam bulan kemudian, yakni pada tanggal 2 Juli 2007 dilakukan pelantikan pejabat Bupati Buton Utara, Kasim, SH di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara.
B. REKOMENDASI
Sesuai tujuan dan manfaat yang diharapkan akan dicapai dari penelitian dan penulisan ini, maka tim pelaksana merekomendasikan kepada dua lembaga pemerintah Kabupaten Buton Utara yang terkait dan relevan dengan hasil penelitian ini, yakni Dinas Pendidikan Nasional dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Bagi Dinas Pendidikan Nasional hasil penelitian ini dapat dirancang baik untuk materi muatan lokal sesuai kurikulum berlaku di daerah maupun materi suplemen (terintegrasi) dalam topik-topik bahasan dalam mata pelajaran IPS di SD, mata pelajaran IPS Sejarah (IPS Terpadu) di SMP dan mata pelajaran Sejarah di SMA dalam periode tertentu sesuai jenjang dan tingkatan masing-masing. Sebagai materi (mata pelajaran) muatan lokal tersendiri, dapat disusun kompetensi dasar dan standar kompetensi misalnya periode praintegrasi dan praislam, periode raja-raja dan otonomi barata, periode kolonial dan perjuangan anti kolonialisme, periode kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, periode reformasi dan otonomi daerah. Sebagai materi suplemen yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran IPS di SD, IPS Sejarah (IPS Terpadu) di SMP atau mata pelajaran Sejarah di SMA, hasil penelitian ini dapat memperkaya dan memperluas topik-topik bahasan mata pelajaran tersebut dengan basis sejarah dan kearifan lokal sesuai jenjang sekolah masing-masing. Bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata akan menjadi data base sejarah (dan budaya) dalam rangka menggiatkan semangat (falsafah) pembangunan dan mendukung program promosi kebudayaan dan kepariwisataan serta pemberian identitas misalnya penetapan hari jadi, lambang, model rumah adat dan gedung penting lainnya, pemberian (usul) gelar pahlawan, nama-nama jalan serta fasilitas penting lainnya. Selain itu, bagi publik masyarakat akan menjadi sumber informasi sejarah tentang prestasi dan kontribusi masyarakat dalam berbagai ivent sejarah di masa lampau. Pada akhirnya akan memperjelas identitas, jatidiri, karakter, kebanggaan, semangat dan patriotisme seluruh komponen dan lapisan masyarakat Buton Utara sehingga akan lebih mudah dikenal secara lebih intim baik dalam pergaulan masyarakat lokal, regional, nasional, maupun internasional.
Berdasarkan saran dan diskusi yang berkembang dalam seminar hasil penelitian, mengisyaratkan perlunya melakukan penelitian tahap kedua (lanjutan) untuk melakukan verifikasi (pengujian) lapangan dan penyempurnaan yang lebih komprehensif baik segi-segi temporal tertentu terutama periode praintegrasi dan pascakemerdekaan, aspek tematis terutama nilai-nilai peradaban, maupun aspek spasialnya yang mencoba melihat sejarah Buton Utara secara proporsional tidak saja di bagian timur kawasan Buton Utara terutama Kulisusu melainkan juga di bagian barat seperti Wakarumba dan Bonegunu. Disepakati dalam seminar pula bahwa hasil penelitian ini belum dapat dikonsumsi oleh publik, terutama anak didik di sekolah sebelum dilakukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan laporan yang lebih otentik, kredibel, proporsional, dan komprehensif.

1 Komentar:

Pada 7 Maret 2018 pukul 23.00 , Blogger Unknown mengatakan...

Membaca Tulisan sejarah di atas, merupakan sebuah Informasi juga bagi saya dan Keluarga, melalui kesempatan ini pula saya sebagai perwakilan keluarga mencoba memberi Informasi terkait Kakek Sepuh Saya LAODE GOLA, beliau adalah merupakan RAJA DARI KERATON EREKE, saya adalah salah satu Cicid Langsung yang terlahir dari satu- satunya Putrinya yang berhasil di selamatkan keluar dari Keraton saat Serangan untuk menghancurkan Kerajaaan Ereke. Putri Beliau bernama WAODE BOUPI yang makamnya terdapat di Kota Kendari ( Pemakaman Keluarga kami). WAODE BAOUPI, melahirkan 1 orang anak dari Pernikahann Pertama dengan seorang DISTRIK- TANAH LAIWOI ( yg skrg menjadi Kota KENDARI), dan 4 orang anak dari pernikahannya yang ke 2 dengan seorang PEJUANG berasal dari TANAH SUNDA-JAWA BARAT yang bernama DULGANI ( dengan nama asli MOHAMMAD ISRA). Saya merupakan Keturunan dari Anak bungsu dari Pernikahan ke 2 nya yaitu ayah saya yang bernama DJAMSIR DULGANI.

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda